Blogger Widgets

Sabtu, 14 Januari 2012

Buah Stroberi


Oleh Sri Endang Susetiawati
Kabut pagi masih tersisa menyelimuti hamparan kebun stroberi di salah satu sudut kota Lembang. Udara yang sejuk dan segar masih setia menemani dua mahasiswi berjilbab yang terlihat tengah asyik berbincang sambil berdiri.
“Subhanallah … lihatlah ! Makin tampak indah kebun stroberi ini” ucap Lili
Zaza bergerak mendekati salah satu tanaman stroberi. Lalu, ia memegangi daun dan memetik buahnya yang berwarna merah menggoda, sambil matanya sesekali diarahkan ke wajah sahabatnya.
Tanaman stroberi ini akan tampak indah kalau kita mampu merawatnya. Disirami, dipupuk, dan dijauhkan dari hama tanaman. Maka, ia akan menjadi indah dan menyenangkan. Buahnya pun bermanfaat, enak dimakan” kata Zaza.
“Aku berharap, teman-temanku tetap bisa menjadi pasangan yang terawat, sehingga memberi pemandangan yang indah menyenangkan, serta bermanfaat bagi mereka, teman-temannya yang lain, sebagai contoh teladan yang dibanggakan” imbuhnya.
“Zaza, … katakan, apa maksud sebenarnya dari kata-katamu itu … ?”
“Aku mau …. Lili dan Lakso kembali menjadi pasangan yang indah, dan segera memastikan untuk melanjutkan kembali sebuah rencana penting yang pernah tertunda sebelumnya !”
“Zaza … sejauh itukah pendapatmu ?”
“Ya ! Tidak ada keraguan sedikitpun dari aku”
“Pusaran air itu telah membawaku pada sebuah keputusan yang baru, Zaza !”
“Itu keputusan yang sangat emosional, Lili. Justru akan membawamu makin terseret dan tenggelam oleh kuatnya pusaran”
“Iya. Tapi, bukankah Zaza juga ada didalamnya …. di dalam pusaran itu ?”
“Aku sudah berusaha keluar dari pusaran itu, agar arus bisa berbalik menjadi tenang kembali”
“Zaza… jarum waktu itu tidak bisa diputar kembali…”
“Benar. Namun, apakah sudah menjadi harga mati bagimu …?”
“Ana sudah mengambil keputusan, Zaza…”
“Keputusan itu sangat tidak berdasar, Lili ….!”
“Itu adalah bagian dari upayaku, Zaza… ! Dalam menebus kembali sebuah kepercayaan yang telah terkoyak, yang kini sudah meruntuhkan segenap harga diriku…!”
“Dan kau anggap, kepercayaan yang terkoyak dan harga diri yang runtuh itu terjadi ketika aku telah masuk arus pusaranmu, begitu … Lili ?”
“Subhanallah … kenapa ini semua bisa terjadi ?” ucap Lili
“Karena seorang sahabat dilarang memasuki area yang dianggapnya wilayah pribadi, walau untuk sekedar berbagi saling mengetahui” balas Zaza
“Apakah ada yang salah dari keputusanku, Zaza …?”
“Tidak ada yang salah, bahkan itu halal …. ”
“Lalu, apa masalahnya dengan keputusanku … ?”
“Lili tidak berlaku jujur pada diri sendiri ….!
“Sebuah tuduhan yang cukup serius, cenderung berbau fitnah dan bisa menyakitkan” ujar Lili
Lili sempat terdiam sejenak. Hidungnya tampak beberapa kali berusaha untuk menarik udara segar dalam-dalam. Langkah pun ia ambil ke arah sebuah saung yang tak jauh dari tempatnya berdiri semula. Zaza berusaha mengikutinya.
“Ana ingin kembali tenang. Jangan ciptakan kembali pusaran arus itu, Zaza…!” ucap Lili sambil berusaha duduk di atas saung.
“Sebuah ketenangan yang semu, dan aku tidak akan lagi masuk pusaran itu….” balas Zaza yang ikut duduk pula.
“Lalu, kenapa Zaza terus mempersoalkan keputusanku ?”
Zaza mengambil sebuah gelas berisi minuman stroberi yang berada di depannya. Kemudian, ia sedikit nikmati minuman itu dengan alat bantu sedotan.
“Oleh sang penjual, … stroberi ini selalu dihidangkan dengan rasa manis, Lili” kata Zaza sambil memegang gelas.
“Namun, seorang sahabat bukanlah penjual stroberi, Lili. Yang penting asal laku dibeli dan dinikmati. Suatu waktu, bila dianggap perlu, stroberi harus pula dihidangkan dengan rasa yang pahit, untuk berfungsi sebagai obat”.
“Menurutmu, obat apa yang tepat buatku …?” tanya Lili
“Batalkan rencanamu jadi madunya Ummi dan kembali ke Lakso !” jawab Zaza dengan tegas
“Zaza…. ! Bagiku, kata-katamu itu sudah berlebihan !”
“Sudah kukatakan, kata-kata seorang sahabat tidak selalu harus manis, demi kebaikan sahabatnya sendiri. Itulah bedanya sahabat dan penjual stroberi, Lili !”
“Astaghfirullahal ‘adzim …. ” ucap Lili.
“Obat hatimu itu ada di Lakso, sahabatku … Begitu juga sebaliknya. Obatilah hatimu dengan obat yang tepat, insya Allah pusaran arus itu akan kembali tenang”
“Antum anggap, hati ana tidak akan tenang bila meneruskan keputusanku itu ? Tidak, Zaza…!”
“Aku bukanlah pihak yang tepat untuk menanggapi pernyataanmu, Lili. Soal keputusanmu itu, tanyakan langsung pada hati kecilmu sendiri…”
“Maksudnya, seorang akhwat yang bersedia dimadu itu berarti tidak sesuai dengan suara hati kecilnya sendiri, begitu …?” tanya Lili
“Untuk kasusmu, ya Lili…!”
“Terlalu berani, berkesimpulan seperti itu…. , Zaza !”
“Tidak, karena aku juga tahu dari sorotan matamu, Lili !”
“Apa yang ingin Zaza katakan dari sorot mataku …?”
“Kembalilah ke Lakso, katakan dengan tegas kepada Amir, bahwa Lili masih sebagai calon tunangan Lakso !”
“Itu sudah masuk ke wilayah keyakinan Jama’ah, Zaza…!”
“Ya, sebuah keyakinan yang perlu mendapat pencerahan, Lili … !”
“Astaghfirullhal ‘adzim…” ucap Lili, seraya kedua tangannya berusaha menutup mata.
“Sekarang aku tanya, jika Lili mempercayai keyakinan itu sebagai sebuah kebenaran, mengapa kau ungkapkan secara jelas rasa cemburu itu di hadapan Ikhwan Lakso ? Kenapa cemburu itu harus ada, Lili …?”
”Kenapa engkau tidak bersikap pasrah dan menerima begitu saja, sejak awal, sahabatku ? Tapi kepasrahan itu baru kau tunjukkan setelah rasa cemburumu puas ditumpahkan …?”
“Kenapa namaku harus selalu kau bawa-bawa dalam panasnya api cemburu itu, Lili ?”
“Kepasrahan itu mendinginkan hati, dan mendamaikan perasaan, Lili. Bagaimana kau dapat jelaskan padaku, sebuah sikap kepasrahan namun berbuah menjadi api panas cemburu ?”
“Kau tawarkan namaku ke Amir untuk dinikahi. Bagiku, itu bukanlah wujud dari sikap kepasrahan, tapi jelas-jelas berasal dari api cemburu. Di mana kepasrahan itu berada, sahabatku …?”
“Stop, … Zaza !”
“Tidak ! Tidak ada alasan yang kuat bagiku, bahwa hal itu adalah bentuk dari sikap kepasrahan. Tidak juga tiket surga yang pernah kau tawarkan kepadaku, Lili …”
“Ini akan berakibat serius, Zaza…”
“Apa maksudnya berakibat serius ….?”
“Kita sudah lama bersahabat, Zaza. Kata-katamu telah banyak melukai hati ana…”
“Ooh…. Inikah yang kau sebut kepasrahan itu, Lili ? Hati yang masih bisa terluka …?”
“Silakan, Lili ! Kalau menurutmu, aku dianggap sudah tidak layak lagi sebagai sahabatmu. Lakukanlah, apa saja yang kau mau !”
“Astaghfirullahal ‘adzim…”
“Lili, … Hatimu itu bukan terluka karena kata-kataku. Tapi sedang merasakan sakit akibat dari pengaruh obat yang telah mulai kau terima. Saatnya nanti, sakit itu akan hilang, dan luka yang sesungguhnya, insya Allah akan sembuh
“Tiket Surga semacam itu tidak cocok dijadikan sebagai obatmu. Itu bukan penyembuh luka hatimu, sahabatku… Obatmu adalah jujur pada diri sendiri…!” ***
Salam Persahabatan
Srie
*) Cuplikan dari Buku Novel Meraih Tiket Surga (MTS) Oleh Sri Endang Susetiawati 
 sumber @ http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/05/22/novel-mempertanyakan-keputusan-seorang-sahabat/

TINGGALKAN KOMENTAR

RAJA E-BOOK GRATIS

RAJA E-BOOK GRATIS
Kumpulan e-book gratis

Blogger templates

Copyright © 2011 Bunnybone . Designed by RidhoGumilang - UTY-Teknik informatika G | Code by @BUBONE_78 | Images by by BB78 Corporation